Peleburan Kemenristek dan Kemendikbud munculkan banyak masalah dan tunjukkan buruknya strategi riset nasional

Foto oleh Chris Liverani | Unsplash

*Oleh Yanuar Nugroho, Research Advisor, Centre for Innovation Policy and Governance.
Tulisan ini pertama kali terbit di The Conversation.

Minggu lalu, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan untuk membubarkan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dan memasukkan fungsinya ke dalam Kementerian Pendidikan (Kemendikbud).

Kemudian, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) – lembaga payung untuk pelaksanaan riset nasional yang kini melekat pada Kemenristek – akan menjadi badan otonom, dan tinggal menunggu pengumuman resmi presiden.

Sebenarnya, pergantian menteri dan perombakan kabinet adalah hal wajar dalam pemerintahan.

Namun, keputusan yang datang secara tiba-tiba setelah kelembagaan Ristek/BRIN terkatung-katung selama dua tahun, mengindikasikan bahwa pemerintah tidak memikirkan strategi riset nasional secara matang.

Apalagi jika mempertimbangkan paket perombakan ini secara utuh, pembubaran Kemenristek seakan-akan sekadar untuk ‘memberi ruang’ pada Kementerian Investasi yang baru dibentuk.

Apa masalah maupun implikasi dari pembubaran dari Kemenristek? Lalu, setelah fungsinya dilebur ke dalam Kemendikbud dan BRIN menjadi badan otonom, seperti apa haluan negara dalam bidang riset dan inovasi?

Dari perbedaan filosofi hingga potensi penyelewengan kekuasaan

Penggabungan sebagian fungsi ristek ke dalam Kemendikbud, bersamaan dengan pemisahan BRIN menjadi lembaga sendiri, membawa tantangan –- bahkan masalah.

Dari perspektif kebijakan publik, tata kelola kenegaraan, serta strategi riset nasional, ada setidaknya tiga masalah mendasar.

1. Ada perbedaan besar substansi urusan pendidikan dengan riset.

Fungsi ristek yang melekat ke Kemendikbud membuatnya harus menangani kebijakan riset, ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi. Padahal, sebelumnya Kemendikbud sudah menangani pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, vokasi, pendidikan tinggi, hingga budaya dan pembentukan karakter.

Dengan kata lain, Kemendikbud-Ristek kini menangani semuanya.

Akibatnya, ada potensi besar kementerian baru ini akan tidak efektif karena mengelola terlalu banyak urusan kebijakan dan bisa membuat peran Kemendikbud-Ristek dan BRIN menjadi tumpang tindih.

Hasilnya, kalau tidak setengah-setengah, bisa-bisa malah berantakan.

Padahal, sebelum digabung, keduanya memiliki peran dan fungsi yang jauh berbeda meski sama-sama berada di wilayah pengetahuan.

Filosofi penelitian adalah pendampingan untuk membangun kemampuan berpikir (thinking), menelisik (inquiry), dan membangun penjelasan (reasoning). Artinya, urusan riset, ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi lebih dari sekadar urusan anggaran, laboratorium, dan publikasi di jurnal.

Sementara itu, filosofi pendidikan adalah pendampingan untuk pembentukan selera (taste), hasrat (desire), dan kebiasaan (habit)—lebih dari sekadar urusan kurikulum, buku, dan guru.

Itulah mengapa kebijakan kedua urusan ini harus ditangani oleh lembaga khusus dan terpisah.

2. Ada risiko berbahaya jika urusan kebijakan riset nasional dilemparkan pada BRIN yang kini berdiri sendiri.

Undang-Undang (UU) No. 11 tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) mengamanatkan BRIN sebagai pelaksana riset dan inovasi.

Mengubah, atau menambahkan, peran BRIN dengan melekatkan peran kebijakan akan menyalahi prinsip tata kelola yang baik.

Namun, lebih penting lagi, memaksakan BRIN menjadi lembaga yang mengurusi kebijakan sekaligus pelaksanaan riset memunculkan potensi tumpang tindih peran maupun kemungkinan penyelewengan kuasa (abuse of power) yang semakin besar.

Selain itu, ada juga wacana pembentukan “Dewan Pengarah” dalam tubuh BRIN—beberapa pihak bahkan ingin mengisi dewan ini dengan figur politik—yang sangat memungkinkan hal tersebut terjadi.

Pemerintah harus memastikan bahwa BRIN tidak menangani kebijakan riset dan inovasi nasional, selain kebijakan internal kelembagaannya.

3. Kemendikbud-ristek dan BRIN akan butuh waktu yang lama untuk menyelesaikan tahapan pembentukan lembaga, administrasi, serta keuangannya.

Sebagai pelaksana riset dan inovasi, BRIN punya pekerjaan rumah yang sangat besar.

Lembaga ini harus mengintegrasikan semua lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) di bidang riset seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), serta badan/unit penelitian dan pengembangan (litbang) di berbagai Kementerian dan Lembaga (K/L).

Proses semacam ini, dalam sejarah pemerintahan, terbukti butuh waktu lama dan bisa bertele-tele.

Ketika Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dibentuk pada 2018, misalnya, dibutuhkan setahun lebih untuk bisa beroperasi.

Demikian juga dengan Badan Restorasi Gambut (BRG) maupun Kemenristekdikti di masa Kabinet Kerja (2014-2019).

Kemendikbud-ristek dan BRIN kemungkinan besar akan mengalami hal serupa. Karena itu, Presiden Jokowi sendiri mungkin harus turun tangan memastikan anggaran dan struktur segera selesai.

Jika hal ini tidak tertangani, ada potensi besar kekosongan koordinasi ristek dan inovasi.

Pemerintah harus mengantisipasi ini supaya tidak mengganggu berbagai kegiatan riset dan inovasi yang tengah berjalan, termasuk upaya penanganan COVID-19 seperti vaksin dan alat tes, hingga terkait warisan yang diinginkan Presiden Jokowi seperti mobil listrik dan digitalisasi berbagai layanan.

Mau dibawa ke mana arah riset negara?

Pembentukan lembaga koordinasi pelaksanaan riset nasional seperti BRIN jelas tidak salah—bahkan perlu didukung.

Namun, jika mau dikenang sebagai pemerintahan yang meletakkan landasan kemajuan bangsa, langkah membubarkan Kemenristek adalah langkah yang salah.

Langkah ini bahkan tidak sejalan dengan upaya mewujudkan Indonesia 2045, yang visinya adalah menjadi satu dari lima pemimpin dunia dengan ekonomi berbasis pengetahuan dan inovasi.

Kunci membangun ekonomi berbasis ilmu pengetahuan—dan bukan ekonomi berbasis jual-beli komoditas—dimulai dari memberi ruang bagi ilmuwan untuk berkarya, mendorong pengembangan dan komersialisasi hasil riset mereka, memastikan kebijakan yang berbasis data dan bukti, hingga membangun kapasitas negara lewat birokrasi dan institusi.

Itulah mengapa tata kelola riset dan inovasi harus dijaga dengan baik. Caranya dengan memastikan kebijakan dan implementasi riset berjalan dengan strategi yang matang—bukan ala kadarnya dan asal-asalan karena serba tergesa-gesa.

Apabila ini tidak diperhatikan, sejarah akan mencatat pemerintahan Presiden Jokowi sebagai pemerintahan yang membubarkan kementerian yang bertugas mengembangkan riset dan teknologi di Indonesia []