Perkuliahan & virus COVID-19

Foto oleh Bima Rahmanda | Unsplash

Sebagai seorang dosen di sebuah perguruan tinggi di Aceh, sudah sejak pertengahan Maret lalu, Imran (bukan nama sebenarnya), tidak mengajar di kampus. Pihak universitas sudah mengalihkan perkuliahan ke model daring (online).

Kampus tempat dia mengajar tidak memberikan instruksi mendetail tentang sistem ‘kuliah online’. Kampus sendiri tidak memiliki serambi (platform) daring khusus untuk melaksanakan kuliah. Selama ini, dia pun tidak pernah mengikuti pelatihan atau dilatih mengelola kuliah daring. Alhasil, dia hanya memberikan instruksi kepada mahasiswa melalui Whatsapp. Dia pun tidak memberikan tugas macam-macam untuk mahasiswa: hanya meringkas bahan bacaan. Menurut dia, tidak semua mahasiswa punya akses internet. Sebagian memiliki keterbatasan karena sudah pulang kampung ke daerah pelosok. Sebagian lain tidak memiliki uang untuk membeli kuota. Mereka pun tidak bisa mengakses internet di kedai kopi seperti biasa.

Perubahan tersebut tidak hanya terjadi dalam perkuliahan. Kegiatan akademik lain, seperti bimbingan dan sidang skripsi, berubah ke versi daring. Di sebuah kampus di Aceh, sidang tetap berlangsung di gedung universitas. Bedanya, penguji dan mahasiswa duduk di ruangan berbeda dan terkoneksi melalui aplikasi Zoom. Kegiatan seremonial seperti wisuda pun sudah dipastikan tidak ada semester ini. Walau sebagian fakultas masih mengusahakan menyelenggarakan yudisium dengan pembatasan jumlah hadirin.

Tidak Normal

Para pengajar tidak hanya berhadapan dengan hambatan teknologi semata. Mereka mesti beradaptasi dengan realitas lain.

Sebagian pengajar mengeluh karena harus berada di rumah selama 24 jam. Di rumah, mereka tidak bisa leluasa bekerja karena ada anak yang perlu mendapatkan perhatian, hiburan, dan pendidikan. Sebelum pandemi, mereka cukup terbantu karena dari pagi hingga siang, anak berada di sekolah. Salah seorang pengajar mengatakan, dia bisa berbuat ‘curang’ dengan memberikan anaknya hp atau tablet agar mereka sibuk sendiri. Namun di sisi lain, dia juga merasa hal itu tidak benar karena teknologi bisa memberikan pengaruh negatif bagi anak apabila dikonsumsi berlebihan.

Selain itu, berada di rumah terus-menerus selama hampir satu bulan bukan hal yang menyenangkan bagi sebagian orang. Mereka tidak bisa bersosialisasi seperti biasa. Sebagian mencukupkan diri dengan berkomunikasi via media sosial dengan rekan sejawat. Beberapa mencari kedai-kedai kopi yang sepi untuk bertemu—walau kini, bertemu teman sendiri pun rasanya sedikit berbeda: duduk berjauhan, tidak ada salaman, dan ada perasaan takut dengan potensi ditularkan (atau menularkan) virus corona.

Pekerja Rentan

Selain persoalan di atas, beberapa pekerja mengaku pandemi corona ini sangat memukul keuangan mereka. Ambil contoh, dosen honorer/ luar biasa. Dalam keadaan normal, mereka dibayar per semester (tak jarang terlambat), dan mengakali hal tersebut dengan bekerja serabutan, misalnya di bimbingan belajar (bimbel). Namun saat ini, bimbel pun ikut tutup sehingga mereka sulit mencari pemasukan lain.

Di sisi lain, sebagian pengajar beruntung karena sempat melamar pekerjaan sebagai tutor daring di sebuah kampus di Indonesia yang terkenal dengan model belajar jarak jauhnya. Namun, pekerjaan itu sendiri hanya tersedia dalam dua gelombang per tahun dan tidak bisa menjadi solusi finansial jangka panjang. Sebagian juga sempat mengurus kartu prakerja walau menyadari bantuan finansial yang diberikan masih jauh dari cukup, sementara voucher pelatihan yang ditawarkan sulit dirasakan manfaat langsungnya sekarang.

Kesulitan di atas tentunya lebih dirasakan lagi oleh mereka yang bekerja sebagai pesuruh, tukang sapu di kampus, dan lain-lain, yang tidak semuanya bekerja dengan kontrak atau gaji bulanan.

Di tengah pandemi ini, para pekerja rentan tersebut belum menerima bantuan langsung, misalnya sembako, dari universitas.

Kelaziman Baru

Aisha S. Ahmad, seorang dosen di Universitas Toronto, mengatakan paling tidak ada tiga tahapan (dari aspek individu) yang akan kita alami saat pandemi ini.

Pertama, kita akan merasakan banyak perubahan drastis dalam berbagai hal. Tidak ada yang baik-baik saja saat ini, entah itu pekerjaan, relasi, kondisi finansial, dan lain-lain. Oleh karena itu, penting untuk menjaga kesehatan fisik dan mental; melakukan hal yang membuat kita bahagia sepanjang itu mungkin; dan menyadari bahwa tidak semua orang melalui krisis ini dengan sama (misalnya, ada yang masih tetap produktif, ada yang tidak), dan semua itu oke. Prioritaskan pula membenahi hubungan yang baik di rumah, khususnya dengan anggota keluarga. Pandemi ini membuat kebanyakan dari kita mesti memindahkan segala aktivitas ke dalam rumah. Hubungan yang baik dengan anggota keluarga akan membuat banyak hal menjadi lebih mudah.

Kedua, kita akan mengalami penyesuaian mental. Perlahan, kita akan sadar dan menerima bahwa kita sedang hidup di tengah krisis. Penerimaan tersebut membuat fisik dan pikiran kita beradaptasi dengan situasi krisis, dan pada akhirnya membuat kita mulai dapat beraktivitas kembali di level yang lebih baik. Namun perlu kita ingat, proses penyesuaian mental ini bisa jadi berlangsung lama. Dan lagi-lagi, tidak ada yang salah dengan itu.

Ketiga, kita akan menerima kelaziman yang baru. Tidak ada yang bisa memprediksikan secara pasti kapan pandemi corona ini berakhir—ada yang memprediksikan 12-18 bulan. Perlahan, situasi krisis ini akan terasa wajar. Semua hal yang dulunya aneh, kini menjadi biasa saja. Kita misalnya akan menerima bahwa masker adalah benda yang dipakai semua orang ketika di luar rumah; kuliah adalah sesi belajar-mengajar yang berlangsung online; salaman adalah menangkupkan tangan di dada; orang yang baru tiba dari luar daerah akan mengisolasi diri secara mandiri; dan lain-lain. Pada tahap ini, kita sudah beradaptasi dengan situasi dan beraktivitas seperti ‘biasa’ menurut ukuran kelaziman pada saat itu.

Akhirnya, pandemi corona ini setidaknya membuka mata kita bahwa masih banyak hal yang perlu dibenahi di negara ini, seperti sistem kesehatan nasional dan jaminan sosial. Perlu kerja sama semua pihak agar kita bisa melalui krisis ini dengan lebih baik. Khusus untuk pemerintah, setidaknya ada satu pelajaran pahit: keteledoran pengambilan keputusan harganya sangat mahal []

Referensi:

Ahmad, A. (2020, 27 Maret). Why You Should Ignore All That Coronavirus-Inspired Productivity Pressure. Diakses April 21, 2020, dari https://www.chronicle.com/article/Why-You-Should-Ignore-All-That/248366