Balapan & kenakalan remaja

Ilustrasi foto oleh VICE Indonesia

Mungkin sebagian dari kita pernah menyaksikan anak-anak usia sekolah balapan di jalan. Di Banda Aceh, salah satu trek populer ada di jalan aspal tepat di tepi Krueng Lamnyong. Jalanan yang lurus, kondisi aspal yang mulus, dan jalur yang relatif sepi, mungkin menjadi alasan kenapa jalan tersebut mereka pilih untuk balapan. Sebagian dari mereka memakai baju kaos aneka warna, dengan celana sekolah berwarna biru tua atau abu-abu, dan sebagian mengenakan pakaian bebas tanpa embel-embel sekolah. Balapan berlangsung dalam model trek lurus (drag race) yang biasanya melibatkan dua kendaraan (1 lawan 1) sekali jalan. Tidak semua dari pembalap memakai helm. Motor yang berkompetisi pun kadang tidak seimbang. Saya pernah melihat Honda Grand beradu dengan RX King dan Honda Supra melawan Vespa. Balapan di tempat itu lebih terkesan seperti hura-hura, ketimbang balapan liar kompetitif yang sering melibatkan taruhan uang. Walau tak jarang, saya kerap memerhatikan ekspresi serius dari pembalap yang menunggu giliran tampil.

Orang dewasa barangkali terbelah pendapat dalam menilai balapan liar. Saya pribadi selain tidak nyaman dengan kebisingan dari knalpot modifikasi yang kadang mereka gunakan, saya juga khawatir dengan keselamatan mereka dan pengendara lain yang melintas. Berita-berita musibah cukup sering kita dengar di media massa. Korbannya ada yang luka parah, bahkan tidak jarang sampai meninggal dunia.

Namun, saya percaya, adakalanya kita mesti melihat isu balapan ini dari sudut pandang anak-anak, khususnya mereka yang mengaku hobi balapan sejak kecil. Jika kita hanya menilai balapan dari sudut pandang sendiri, apalagi kita buru-buru menilai bahwa balapan sama dengan kenakalan, maka saya khawatir penilaian kita akan bias dan tidak adil.

Dalam sebuah dokumenter, VICE Indonesia (2017) meliput Eza Chemonk yang saat itu berusia 16 tahun, seorang pembalap dari Tim Kawahara. Dia berasal dari Bekasi. Demi mengejar karir sebagai pembalap, ia memutuskan meninggalkan keluarga dan hidup mandiri dengan dukungan finansial dari tim balapnya. 

"Emang bener-bener hobi dari kecil. Pengen punya prestasi, pengen jadi pembalap." Katanya.

"Pokoknya berjuang mati-matian dari kecil, lah." Dia mulai balapan sejak kelas 5 SD.

Eza adalah pembalap populer di sirkuit resmi, khususnya untuk kelas drag bike. Cassidy, mekanik motor tunggangan Eza menyebutkan, dia adalah salah seorang pembalap (atau lazim juga disebut "joki") yang sangat berbakat.

"Misalnya kondisi maksimal motor 90%, ketika dia pakai, ya performa motor tetap 90%. Mungkin kalau dipakai joki-joki yang baru belajar, paling dapatnya 80%." Tutur Cassidy.

Meski sudah memiliki nama di ajang resmi, Eza masih sesekali mengikuti balapan liar. Alasannya, ia punya banyak waktu senggang apabila sedang tidak ada kompetisi. Daripada hanya makan dan tidur, menurutnya lebih baik mengikuti balap liar sekalian untuk 'melemaskan' badan. Untuk even balap liar, ia tidak memperoleh dukungan dari bosnya di tim drag bike dan orangtuanya karena risiko yang besar.

Sementara itu, uang yang dia peroleh dari berbagai even balapan, banyak habis untuk membeli barang-barang dan rokok.

Sebuah penelitian menyebutkan, apabila seseorang telah memiliki pemahaman diri, penghormatan diri, dan penerimaan diri dalam melakukan suatu profesi, maka kepercayaan diri serta harga diri (self-esteem) akan terbentuk dalam dirinya, termasuk pada profesi sebagai pembalap (Hakim & Purwoko, 2016). Singkatnya, pada tahap itu, anak-anak sudah berada pada posisi yakin bahwa identitas dirinya adalah sebagai pembalap, bukan lainnya.

Hal tersebut kemudian menjelaskan, mengapa anak-anak yang memiliki bakat dan minat dalam membalap, cenderung tidak memiliki motivasi belajar di sekolah (Iffahsari & Purwoko, 2016). Mereka kadang terlambat hadir, mengantuk di kelas, tidak kelihatan antusias dalam mengerjakan tugas, bahkan kerap membolos. 

Ada beberapa upaya yang mungkin kita coba untuk mendukung dan memaksimalkan potensi anak-anak, khususnya dalam dunia balap motor.

Pertama dan yang paling mendasar, orang tua, guru, atau pihak-pihak yang terlibat dalam pendidikan anak, mesti tidak terburu-buru dalam menilai negatif kegemaran anak dalam membalap. Balap mesti kita tempatkan setara dengan bakat-bakat lainnya seperti yang berhubungan dengan numerik, sastra, dan lain-lain.

Kedua, jika kita ingin mengurangi even balap liar, maka kita perlu membangun fasilitas dan sarana otomotif yang cukup untuk penyelenggaraan even balap resmi (Rosanti & Fuad, 2015), tentunya dengan konsep dan desain yang menjunjung tinggi aspek keamanan dan keselamatan.

Ketiga, kita perlu mendorong kajian untuk pembentukan institusi pendidikan resmi bagi calon-calon pembalap dengan melibatkan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam industri balap. Di negara kita sendiri, ada Ikatan Motor Indonesia (IMI), yang memiliki peran membuat aturan dan mengawasi olahraga otomotif, termasuk balap motor, di seluruh provinsi. Mereka juga bertindak sebagai fasilitator sektor swasta, pemerintah, serta industri otomotif dalam setiap even.

Keempat, kita perlu menggalakkan bimbingan pengelolaan keuangan bagi pembalap muda yang sudah mendapatkan hasil finansial dari kegiatan yang mereka ikuti. Mereka perlu belajar menabung, berinvestasi, dan serta mengalokasikan uang mereka pada sesuatu yang benar-benar bermanfaat untuk kehidupan sekarang dan masa depan. Kemudian, pembalap, seperti layaknya atlet pada cabang olahraga lain, perlu mendapatkan bimbingan terkait kesehatan, kebugaran, termasuk perihal nutrisi.

Kelima, khusus untuk institusi pendidikan, jika kita mengetahui ada peserta didik yang berprofesi sebagai pembalap, kita perlu memberikan perhatian dan dukungan khusus bagi mereka.

Akhirnya, semoga dengan dukungan dan perlakuan yang adil terhadap anak, mereka dapat tumbuh maksimal sesuai bakat dan minat yang mereka miliki []

Referensi:

Hakim, L., & Purwoko, B. (2016). Explorasi Self Esteem Pelaku Balap Liar pada Siswa SMP di Kabupaten Mojokerto. Jurnal BK UNESA, 6(3). Diakses dari http://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/jurnal-bk-unesa/article/view/15593

Iffahsari, M. W., & Purwoko, B. (2016). Studi tentang motivasi belajar pada siswa penggemar balap motor liar di Kecamatan Krembung. Jurnal BK UNESA, 6(3). Diakses dari http://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/jurnal-bk-unesa/article/view/16126

Rosanti, A., & Fuad, F. (2015). Budaya Hukum Balap Liar di Ibukota. Lex Jurnalica, 12(1).

VICE Indonesia. (2017, Oktober 16). Teen Dragsters Risking It All for Fame and Fortune: Speed Jockeys [Video File]. Diakses dari youtu.be/sL9dlyW_PRA